DEFINISI, PRINSIP, TUJUAN & DASAR HUKUM ZAKAT
Oleh Nurul Hakim,
S.Ag., MA
A. Definisi Zakat
Tugas
hidup manusia sebagai makhluk ciptaan Allah swt adalah beribadah kepada-Nya.
(QS. Al-Dzariyat: 56). Cara beribadah kepada Allah dilakukan dengan (lebih
menekankan melalui) jasmani (badaniyyah)
saja atau dengan harta benda (maliyah)
atau melalui keduanya. Salah satu bentuk ibadah dengan harta benda (maliyah) adalah zakat.
Secara
etimologis, kata zakat berasal dari kata zakaa,
yang berarti suci, baik, berkah, terpuji, bersih, tumbuh, berkembang,[1]
penuh keberkahan dan beres.[2]
Secara terminologis, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah
diserahkan kepada orang-orang yang berhak.[3]
Menurut UU No. 38 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Zakat, pengertian zakat adalah
harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh
orang muslim sesuai ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.[4]
Menurut
istilah, zakat ialah kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan nilai bersih
dari kekayaannya yang tidak melebihi satu nisab, diberikan kepada mustahik dengan beberapa syarat yang
telah ditentukan.[5] Didin
Hafidhuddin mendefinisikan zakat yaitu bagian dari harta dengan persyaratan
tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada
yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu pula.[6] Dalam pengertian zakat tersebut tercakup
pengertian zakat mal (zakat harta)
dan zakat fitrah (zakat jiwa). Esensi
zakat adalah pengelolaan sejumlah harta yang diambil dari orang yang wajib
membayar zakat (muzakki) untuk
diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahiq).
Definisi
lain tentang zakat ialah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai
syarat tertentu pula yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan
kepada orang-orang yang berhak menerimanya.[7]
Nipan Abdul Halim mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zakat ialah suatu
syariat yang mengajarkan kepada segenap kaum kaya yang penghasilannya mencapai nishab (kadar minimal) tertentu agar
mengeluarkan sebagian kecil dari penghasilannya itu diberikan kepada
orang-orang yang berhak menerimanya.[8]
Ada
keterkaitan erat antara makna zakat secara bahasa dan istilah, yaitu bahwa
setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik,
berkah, tumbuh dan berkembang. Dalam konteks penggunaannya, selain untuk
kekayaan, tumbuh dan suci itu disifatkan untuk jiwa orang yang menunaikan
zakat. Artinya, zakat itu akan mensucikan orang yang mengeluarkannya dan
menumbuhkan pahalanya.[9]
Kata suci
itu jika dihubungkan dengan harta, maka menurut ajaran Islam, harta yang
dizakati itu akan tumbuh berkembang, bertambah karena suci dan berkah (membawa
kebaikan bagi hidup dan kehidupan yang punya).[10]
Secara filosofis, fungsi zakat bagi manusia adalah membersihkan dari kesalahan
dan kecurangan dalam meraih keinginan selama ini.[11]
Menurut
istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari golongan
kaya kepada golongan tidak punya.[12]
Salah satu ajaran penting yang terdapat dalam agama Islam adalah urgensi zakat
kaitannya dengan pengentasan kaum dhu’afa
dan mustadzafiin. Sebagai sebuah
dinamika keagamaan, zakat merupakan bentuk kesaksian manusia (syahadah al-insan) pada rukun Islam yang
keempat dihadapan Allah yang muaranya tertuju pada dimensi kemanusiaan.
B. Dasar Hukum Zakat
Ada
beberapa ayat dalam Alquran yang menjadi dasar kewajiban untuk menunaikan
zakat.
1. QS. al-Taubah ayat 103
.
“Ambillah zakat dari sebahagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan diri dan mensucikan mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
2. QS.al-Baqarah ayat 43.
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku”.
3.
QS.al-Hajj ayat 78.
“Maka dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakatdan berpegangteguhlah kamu dengan tali Allah yang
Dia merupakan Wali bagi kamu’.:
4. QS. Ali 'Imran ayat 180.
.
“Sekali-kali janganlah orang-orang
yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya
menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu
adalah buruk bagi mereka, harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan
kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah lah segala warisan (yang
ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Berdasarkan beberapa ayat Alquran
itu telah jelaslah bagaimana sebenarnya kedudukan zakat dalam Islam. Alquran
telah mendeskripsikan zakat secara jelas dan gamblang. Tidak dapat dipungkiri bahwa zakat merupakan
kewajiban yang sifatnya simultan. Bahkan kata zakat dalam Alquran selalu
berdampingan dengan salat. Oleh karena itu, salat dan puasa tidaklah cukup
untuk membuktikan kesaksian seorang manusia di hadapan Allah, tetapi perlu ada
kesaksian lain yang bisa dilihat dan dirasakan bagi sesama manusia. Sebagai
amalan yang mulia, zakat merupakan rangkaian panggilan Tuhan pada satu sisi,
dan panggilan dari rasa kepedulian dan kasih sayang terhadap sesamanya pada
sisi lain.
Istilahnya bahwa salat merupakan
ibadah badaniyah dan zakat merupakan
ibadah maliyah (harta). Salat
merupakan hubungan vertikal murni kepada Allah, sedangkan zakat lebih bersifat
horizontal dan sosial (ijtima’iyah).[13]
Begitu besarnya keterkaitan antara salat dan zakat, sehingga Ibn Katsir
sebagaimana yang dikutip oleh Nipan Abdul Halim mengatakan bahwa amal seseorang
itu tidak berguna, kecuali ia melaksanakan salat dan menunaikan zakat
sekaligus.[14]
Kewajiban zakat didalamnya terdapat dimensi sosial dan dimensi ibadah yang
menyatu secara integral. Inilah keunikan ajaran Islam, yang tidak menarik garis
pemisah antara institusi sebagai ibadah di satu pihak dan konteks sosial di
pihak lain. Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang selalu disejajarkan
dengan salat. Inilah yang menunjukkan betapa pentingnya zakat sebagai salah
satu rukun Islam.[15]
C. Prinsip, Fungsi dan Tujuan Zakat
Zakat
merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, karena zakat merupakan
salah satu implementasi asas keadilan dalam sistem ekonomi Islam. M.A. Mannan
dalam bukunya Islamic Economics: Theory
and Practice, sebagaimana yang dikutip oleh Hikmat Kurnia dan A.
Hidayat menyebutkan bahwa zakat
mempunyai enam prinsip, yaitu:
1.
Prinsip keyakinan keagamaan, yaitu bahwa orang yang
membayar zakat merupakan salah satu manifestasi dari keyakinan agamanya.
2.
Prinsip pemerataan dan keadilan; merupakan tujuan sosial
zakat, yaitu membagi kekayaan yang diberikan Allah lebih merata dan adil kepada
manusia.
3.
Prinsip produktivitas, yaitu menekankan bahwa zakat
memang harus dibayar karena milik tertentu telah menghasilkan produk tertentu
setelah lewat jangka waktu tertentu.
4.
Prinsip nalar, yaitu sangat rasional bahwa zakat harta
yang menghasilkan itu harus dikeluarkan.
5.
Prinsip kebebasan, yaitu bahwa zakat hanya dibayar oleh
orang yang bebas atau merdeka (hurr).
6.
Prinsip etika dan kewajaran, yaitu zakat tidak dipungut
secara semena-mena, tapi melalui aturan yang disyariatkan.[16]
Secara
umum tujuan zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial ekonomi. Zakat
merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya
untuk dialokasikan kepada si miskin.
Para
cendekiawan muslim banyak yang menerangkan tentang tujuan-tujuan zakat, baik
secara umum yang menyangkut tatanan ekonomi, sosial dan kenegaraan maupun
secara khusus yang ditinjau dari tujuan-tujuan nash secara eksplisit. Tujuan-tujuan itu antara lain:
1.
Menyucikan harta dan jiwa muzakki.
2.
Mengangkat derajat fakir miskin.
3.
Membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnu sabil, dan mustahiq
lainnya.
4.
Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat
Islam dan manusia pada umumnya.
5.
Menghilangkan sifat kikir dan dan loba para pemilik
harta.
6.
Menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial)
dari hati orang-orang miskin.
7.
Menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di
dalam masyarakat agar tidak ada kesenjangan di antara keduanya.
8.
Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri
seseorang, terutama bagi yang memiliki harta.
9.
Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban
dan menyerahkan hak orang lain padanya.
10.
Zakat merupakan manifestasi syukur atas Nikmat Allah.
11.
Berakhlak dengan akhlak Allah.
12.
Mengobati hati dari cinta dunia.
13.
Mengembangkan kekayaan batin.
14.
Mengembangkan dan memberkahkan harta.
15.
Membebaskan si penerima (mustahiq) dari kebutuhan, sehingga dapat merasa hidup tenteram dan
dapat meningkatkan kekhusyukan beribadat kepada Allah SWT.
16.
Sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan
sosial.
17.
Tujuan yang meliputi bidang moral, sosial, dan ekonomi.
Dalam
bidang moral, zakat mengikis ketamakan dan keserakahan hati si kaya. Dalam
bidang sosial, zakat berfungsi untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat.
Dalam bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan di tangan sebagian
kecil manusia dan merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk perbendaharaan
negara.[17]
D. Zakat Fitrah, Zakat Harta dan Sumber Zakat
Zakat
secara garis besar dibagi dua, yaitu:
a.
Zakat fitrah (badan) yang semata-mata merupakan pembersihan
jiwa.
b.
Zakat harta (maal).[18]
Zakat nafs (jiwa) disebut zakat fitrah
merupakan zakat untuk menyucikan diri.
Zakat fitrah dikeluarkan dan disalurkan kepada yang berhak pada bulan
Ramadhan sebelum tanggal 1 Syawal (hari raya Idul Fitri). Zakat ini dapat
berbentuk bahan pangan atau makanan pokok sesuai daerah yang ditempati, maupun
berupa uang yang nilainya sebanding dengan ukuran/harga bahan pangan atau
makanan pokok tersebut.[19]
Zakat
fitrah ialah zakat yang wajib disebabkan berbuka dari puasa Ramadhan. Hukumnya
wajib bagi setiap muslim, baik kecil atau dewasa, laki-laki dan wanita, budak
atau merdeka. Zakat fitrah itu wajib atas setiap muslim yang memiliki kelebihan
makanan selama satu hari satu malam sebanyak satu sha’ (1 sha’ untuk ukuran
Indonesia kira-kira 3,5 liter) dari makanannya bersama keluarganya.
Berikut
ini ada beberapa waktu dan hukum membayar zakat fitrah:
1.
Waktu yang diperbolehkan, yaitu awal Ramadhan sampai hari
penghabisan Ramadhan.
2.
Waktu wajib, yaitu dari terbenam matahari penghabisan Ramadhan.
3.
Waktu yang lebih baik (sunat0, yaitu dibayar sesudah
salat subuh sebelum pergi salat hari raya.
4.
Waktu haram, yaitu zakat fitrah dibayar sesudah terbenam
matahari pada hari raya itu.
Zakat maal (harta) adalah zakat yang
dikeluarkan untuk menyucikan harta, apabila harta itu telah memenuhi
syarat-syarat wajib zakat.[20]
Menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah bahwa zakat harta itu terbagi dalam empat
kualifikasi. Kualifikasi pertama terdiri
dari tanam-tanaman dan buah-buahan. Kualifikasi kedua terdiri dari hewan
ternak. Kualifikasi ketiga terdiri emas dan perak. Kualifikasi keempat terdiri
dari harta perdagangan. Sedangkan rikaz (harta
temuan) sifatnya insidental atau sewaktu-waktu.[21]
Berdasarkan
sumber-sumber zakat yang didapat, maka ada beberapa jenis sumber harta yang
dapat dijadikan jenis-jenis zakat. Beberapa sumber tersebut antara lain berupa:
1.
Zakat profesi;
2.
Zakat perusahaan;
3.
Zakat surat-surat berharga;
4.
Zakat perdagangan mata uang;
5.
Zakat hewan ternak yang diperdagangkan;
6.
Zakat madu dan produk hewani;
7.
Zakat investasi properti;
8.
Zakat asuransi syariah;
9.
Zakat usaha tanaman anggrek, sarang burung walet, ikan
hias dan sektor lainnya yang sejenis;
10.
Zakat sektor rumah tangga modern.[22]
Ketentuan tentang sumber harta yang dapat dijadikan objek zakat di atas
merupakan hasil perkembangan dari perekonomian Islam yang cukup baik di
berbagai sektor. Sektor industri merupakan sektor yang terus mengalami
peningkatan dalam memberikan sumbangan kepada perekonomian negara. Sektor
industri ini merupakan salah satu sektor yang cukup penting sebagai sumber
zakat.[23]
E. Mustahiq Zakat
Allah swt telah menentukan orang-orang yang berhak untuk menerima zakat
sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Taubah [9]: 60,
Kelompok
penerima zakat itu dikenal dengan asnaf
, yaitu:
1. Fakir
Fakir ialah orang yang penghasilannya tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok
(primer) sesuai dengan kebiasaan masyarakat dan wilayah tertentu.[24]
Menurut pandangan mayoritas ulama fikih, fakir adalah
orang yang tidak memiliki harta dan penghasilan yang halal, atau yang mempunyai
harta yang kurang dari nishab zakat
dan kondisinya lebih buruk daripada orang miskin.
Orang fakir berhak mendapat zakat sesuai kebutuhan
pokoknya selama setahun, karena zakat berulang setiap tahun patokan kebutuhan
pokok yang akan dipenuhi adalah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan
kebutuhan pokok lainnya.
Di antara pihak yang dapat menerima zakat dari kuota
fakir, yaitu orang-orang yang memenuhi syarat “membutuhkan”. Maksudnya tidak
mempunyai pemasukan atau harta, atau tidak mempunyai keluarga yang menanggung
kebutuhannya. Orang-orang tersebut adalah: anak yatim, anak pungut, janda,
orang tua renta, jompo, orang sakit, orang cacat jasmani, orang yang
berpemasukan rendah, pelajar, para pengangguran, tahanan, orang-orang yang
kehilangan keluarga, dan tawanan, sesuai dengan syarat-syarat yang dijelaskan
dalam aturan penyaluran zakat dan dana kebajikan.[25]
2. Miskin
Miskin adalah orang-orang yang memerlukan, yang tidak
dapat menutupi kebutuhan pokoknya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Miskin
menurut jumhur ulama adalah orang yang tidak memiliki harta dan tidak mempunyai
pencarian yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.[26]
3. Amil zakat
Amil zakat ialah semua pihak yang bertindak mengerjakan
yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan
penyaluran atau distribusi harta zakat.[27]
Amil zakat diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin
darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwenang atau oleh
masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lainnya yang
berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran atau penyuluhan masyarakat tentang
hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang terkena kewajiban
membayar zakat serta dan mereka yang menjadi mustahiq, mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta menginvestasikan
harta zakat.
Para amil zakat berhak mendapat bagian dari zakat dari
kuota amil yang diberikan oleh pihak yang mengangkat mereka, dengan catatan
bagian tersebut tidak melebihi dari upah yang pantas, walaupun mereka orang
fakir. Dengan penekanan supaya total gaji para amil dan biaya administrasi itu
tidak lebih dari seperdelapan zakat (13,5%).
4. Muallaf
Pihak ini merupakan salah satu mustahiq yang delapan yang legalitasnya masih tetap berlaku sampai
sekarang, belum dinasakh. Pendapat
ini adalah pendapat yang diadopsi mayoritas ulama fikih (jumhur). Sehingga kekayaan kaum mualaf tidak menghalangi keberhakan
mereka menerima zakat.[28]
Di antara kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat
dari kouta ini adalah:
a.
Orang-orang yang dirayu untuk memeluk Islam; sebagai
pendekatan terhadap hati orang yang diharapkan akan masuk Islam atau
ke-Islam-an orang yang berpengaruh untuk kepentingan Islam dan umat Islam.
b.
Orang-orang yang dirayu untuk membela umat Islam: dengan
memersuasikan hati para pemimpin dan kepala negara yang berpengaruh, baik
personal maupun lembaga, dengan tujuan ikut bersedia memperbaiki kondisi
imigran warga minoritas muslim dan membela kepentingan mereka. Atau, untuk menarik hati para pemikir dan
ilmuwan demi memperoleh dukungan dan pembelaan mereka dalam membantu
permasalahan kaum muslim.
c.
Orang-orang yang baru masuk Islam kurang dari satu tahun
yang masih memerlukan bantuan dalam beradaptasi dengan kondisi baru mereka,
meskipun tidak berupa pemberian nafkah, atau dengan mendirikan lembaga keilmuan
dan sosial yang akan melindungi dan memantapkan hati mereka dalam memeluk Islam
serta yang akan menciptakan lingkungan yang serasi dengan kehidupan baru
mereka, baik moril maupun materil.[29]
5. Hamba yang Disuruh Menebus Dirinya
Mengingat golongan ini sekarang tidak ada lagi, maka
kuota zakat mereka dialihkan ke golongan mustahiq
lain menurut mayoritas pendapat ulama. Namun, sebagian ulam berpendapat
bahwa golongan ini masih ada, yaitu para tentara muslim yang menjadi tawanan.
6. Orang yang Berutang
Orang yang berutang yang berhak menerima kuota zakat
golongan ini adalah:
a.
Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak
bisa dihindarkan, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan
2.
Utang itu melilit pelakunya.
3.
Si pengutang sudah tidak sanggup lagu melunasi utangnya.
4.
Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi
ketika zakat itu diberikan kepada si pengutang.
b.
Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial,
seperti yang berutang untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan
memikul biaya diyat (denda kriminal)
atau biaya barang-barang yang dirusak.
c.
Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang
lain, dimana yang menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kondisi
kesulitan keuangan.[30]
7. Fi
Sabilillah
Fi sabilillah adalah
orang yang berjuang di jalan Allah dalam pengertian luas sesuai dengan yang
ditetapkan oleh para ulama fikih. Intinya adalah melindungi dan memelihara
agama serta meninggikan kalimat tauhid, seperti berperang, berdakwah, berusaha
menerapkan hukum Islam, menolak fitnah-fitnah yang ditimbulkan oleh musuh-musuh
Islam, membendung arus pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Oleh
karena itu, pengertian jihad tidak terbatas pada aktivitas kemiliteran saja.[31]
Kuota zakat untuk golongan ini disalurkan kepada para
mujahidin, da’i sukarelawan, serta pihak-pihak yang mengurusi aktivitas jihad
dan dakwah, seperti berupa berbagai macam peralatan perang dan perangkat dakwah
berikut seluruh nafkah yang diperlukan para mujahidin dan da’i.
8. Ibn Sabil
Orang yang dalam perjalanan (ibn sabil) adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk
kembali ke tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
a.
Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat
tinggalnya. Jika masih di lingkungan negeri tempat tinggalnya, lalu ia dalam
keadaan membutuhkan; maka ia dianggap sebagai fakir atau miskin.
b.
Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syariat
Islam, sehingga pemberian zakat itu tidak menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.
c.
Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke
negerinya, meskipun di negerinya sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang
yang belum jatuh tempo, atau pada orang lain yang tidak diketahui
keberadaannya, atau pada seseorang yang dalam kesulitan keuangan, atau pada
orang yang mengingkari utangnya, maka semua itu tidak menghalanginya berhak
menerima zakat.[32]
Daftar Pustaka
A. Buku-buku:
’Abd
al-Rahman al-Jaziry. 1990. Kitab al-Fiqh
‘ala al-Mazahib al-Arba’ah. Jilid I. Beirut: Dar al-Fikr.
Abdul Hamid Mahmud. 2006. Ekonomi Zakat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Adiwarman
Karim. 2001. Ekonomi Islam Suatu Kajian
Kontemporer. Jakarta: Gema Insani.
Agustianto. 2002. Percikan
Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Forum Kajian Ekonomi dan Perbankan Islam
(FKEI) bekerja sama dengan Cita Pustaka Media.
Ahmad
Warson Munawir. 1984. Al-Munawwir Kamus
Arab Indonesia. Yogyakarta: Pondol Pesantren al-Munawir.
Ali bin
Muhammad al-Jurjany. 1983. Kitab
al-Ta’rifat. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah, Cet. 1.
Didin
Hafidhuddin. 2002. Zakat Dalam
Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press. Setiawan Budi Utomo. 2005.
Fiqh Aktual, Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer. Jakarta: Gema Insani.
Didin
Hafidhuddin. 2006. Mutiara Dakwah
Mengupas Konsep Islam Tentang Ilmu, Harta, Zakat & Ekonomi Syariah. Jakarta:
Albi Publishing.
Faridah
Prihartini, et.al. 2005. Hukum Islam
Zakat & Wakaf: Teori dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta: Papan Sinar
Sinanti bekerjasama dengan Badan Penerbit FHUI, Cet. 1..
Gustian
Juanda, et.al. 2006. Pelaporan Zakat
Pengurang Pajak Penghasilan, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Hikmat Kurnia dan A. Hidayat. 2008. Panduan Pintar Zakat Harta Berkah, Pahala Bertambah Plus Cara Tepat
& Mudah Menghitung Zakat. Jakarta: QultumMedia..
Mohammad
Daud Ali. 1998. Sistem Ekonomi Islam dan
Zakat. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Muhammad.
2002. Zakat Profesi Wacana Pemikiran
dalam Fiqh Kontemporer, Jakarta: Salemba Diniyah.
Nipan
Abdul Halim. 2001. Mengapa Zakat
Disyariatkan. Bandung: M2SURAT.
Rahman
Ritonga, et.al. 1997. Ensiklopedi Hukum
Islam. Buku 5. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Sayydi
Sabiq. 1982. Fiqh Sunnah. Beirut: Dar
al-Fikr, Jilid 1, Cet. 5.
Wahbah
al-Zuhayli. t.t. al-Fiqh al-Islamy wa
Adillatuhu. Juz 2. Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3.
Yusuf
Qaradawi. 2007. Hukum Zakat.
Penterjemah Salman Harun, et.al. Jakarta: Litera Antar Nusa, Cet. 10.
B.
Jurnal
Mila
Sartika. “Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif terhadap Pemberdayaan Mustahiq
pada LAZ Yayasan Solo Peduli Surakarta”, Jurnal
Ekonomi Islam, Vol. II. No. 1, Mei 2008.
C. Website:
Idrus
Andy Rahman. “Zakat Untuk Memberdayakan Kaum Dhu’afa”, www.elzawa-uinmaliki.org/, diakses tanggal 9 Maret 2012.
[1]Ahmad Warson Munawir. 1984. Al-Munawwir
Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Pondol Pesantren al-Munawir, hlm. 615.
Lihat juga Mila Sartika. “Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif terhadap
Pemberdayaan Mustahiq pada LAZ Yayasan Solo Peduli Surakarta”, Jurnal Ekonomi Islam, Vol. II. No. 1,
Mei 2008, hlm. 6.
[2]Didin Hafidhuddin. 2006. Mutiara
Dakwah Mengupas Konsep Islam Tentang Ilmu, Harta, Zakat & Ekonomi Syariah.
Jakarta: Albi Publishing, hlm. 127.
[3]Yusuf Qaradawi. 2007. Hukum Zakat.
Penterjemah Salman Harun, et.al. Jakarta: Litera Antar Nusa, Cet. 10, hlm. 34.
Lihat juga Wahbah al-Zuhayli. t.t. al-Fiqh
al-Islamy wa Adillatuhu. Juz 2. Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, hlm.
729-730. Lihat juga Ali bin Muhammad al-Jurjany. 1983. Kitab al-Ta’rifat. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah, Cet. 1, hlm.
114. Lihat juga Sayydi Sabiq. 1982. Fiqh
Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, Jilid 1, Cet. 5, hlm. 276.
[4]Lihat Pasal 1 ayat (3) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
[5]‘’Abd al-Rahman al-Jaziry. 1990. Kitab
al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah. Jilid I. Beirut: Dar al-Fikr, hlm. 590.
[6]Didin Hafidhuddin. 2002. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press, hlm.
7. Lihat juga Setiawan Budi Utomo. 2005. Fiqh
Aktual, Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani, hlm. 65.
[7]Muhammad. 2002. Zakat Profesi Wacana
Pemikiran dalam Fiqh Kontemporer, Jakarta: Salemba Diniyah, hlm. 10.
[9]Rahman Ritonga, et.al. 1997. Ensiklopedi
Hukum Islam. Buku 5. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, hlm. 69.
[10]Mohammad Daud Ali. 1998. Sistem
Ekonomi Islam dan Zakat. Jakarta: Universitas Indonesia Press, hlm. 29-30.
[11]Idrus Andy Rahman. “Zakat Untuk Memberdayakan Kaum Dhu’afa”, www.elzawa-uinmaliki.org/, diakses tanggal 9 Maret 2012.
[15]Abdul Hamid Mahmud. 2006. Ekonomi Zakat. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 1.
[16]Hikmat Kurnia dan A. Hidayat. 2008. Panduan Pintar Zakat Harta Berkah, Pahala Bertambah Plus Cara Tepat
& Mudah Menghitung Zakat. Jakarta: QultumMedia, hlm. 9.
[17]Ibid., hlm. 10-11. Lihat juga Faridah Prihartini, et.al. 2005. Hukum Islam Zakat & Wakaf: Teori dan
Praktiknya di Indonesia. Jakarta: Papan Sinar Sinanti bekerjasama dengan
Badan Penerbit FHUI, Cet. 1., hlm. 50. Lihat juga Gustian Juanda, et.al. 2006. Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 15-16.
[19]Gustian Juanda, et.al., Op.Cit.,
hlm. 18.
[21]Agustianto. 2002. Percikan
Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Forum Kajian Ekonomi dan Perbankan Islam
(FKEI) bekerja sama dengan Cita Pustaka Media, hlm. 170.
[22]Didin Hafidhuddin, Op.Cit., hlm.
93-121.
terimah kasih :) informasinya sangat membantu :)
BalasHapusterimakasih.....
BalasHapussangat bermanfaat sekali ..
salam